Asas tareqat 1
March 5, 2009Asas Tareqat 3 (Wajah Ulama)
March 5, 2009Setiap Mursyid yang ada pada thariqat di manapun juga dapat dijadikan sandaran untuk berabithah, namun yang lebih utama adalah mempunyai kriteria atau ciri-ciri seperti yang diisyaratkan Al-Quran dan Al-Hadits, yakni:
1. Adanya istikhlaf, pemandatan kekhalifahan (kepemimpinan) secara pemilihan melalui proses Ilahiyah, bukan berdasarkan proses demokrasi, yakni pengangkatan dari seluruh jama’ah. Tegasnya, kebijakan dari Atas ke bawah, bukan dari bawah ke atas. Prosesnya menyerupai seorang Presiden diangkat oleh Gabenor dengan Timpalan Presiden. Pengangkatan kepemimpinan yang didasari kehendak manusia mempunyai segudang kelemahan, dan penggunaan suara terbanyak dalam menentukan suatu kepemimpinan tidak bisa menjamin datangnya rahmat dan keridhaan Allah, sebab nilai-nilai kebenaran bukanlah ditentukan dengan jumlah yang terbesar/terbanyak.
“Kemudian Kami wariskan kitab itu kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar”. (QS. Fathir[35]: 32)
Sabda Nabi SAW:
“Para Ulama itu adalah pewaris para Nabi“. Kalimat Ulama di sini menunjukkan ketertentuan (dengan isyarat Alif Lam ma’rifah), bahwa tidak semua Ulama itu adalah Pewaris para Nabi As. Ketentuannya diterangkan lebih lanjut dalam uraian berikutnya.
2. Ada nasab. Sungguhpun demikian tidak mutlak kepada Nasab. Jejak kenasaban itu sendiri dalam genggaman kekuasaan Allah, tidak semua mengetahui jaringan kenasaban sehingga terkadang dirinya sendiri tidak mengetahuinya. Tidak tiap-tiap nasab (habaib) diwarisi kemursyidan, yang punya sidiq amalnya, lurus, teliti, teguh amalnya. Ditonjolkan perihal kenasaban ini memiliki dua dampak (positif dan negatif). Sehingga Allah-lah yang mengetahui siapa yang berhak memangku kemursyidan, dan pada dasarnya setiap insan mempunyai darah (nasab) kenabian (Adam As).
Firman Allah dalam Surat Hud[11]: 73:
“(Itu adalah) rahmat Allah dan keberkahan-Nya, dicurahkan atas kamu, wahai Ahlul bait! Sesungguhnya Allah Teramat Terpuji lagi Pemurah”.
Keluarga Nabi oleh Allah SWT diberikan limpahan keberkahan dan keselamatan, karena dalam setiap shalawat kita dianjurkan mengucapkannya. Begitu pulalah kita lantunkan dalam setiap shalat ketika tasyahud akhir:
“Yaa Allah berikan limpahan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah berikan itu semua kepada Nabi Ibrahim beserta keluarganya“.
Catatan: Tidak mutlak mengedepankan nilai kenasaban sebagai jaminan ketaqwaan karena secara historis kedudukan nasab tidak menjamin ketaatan seseorang kepada Allah & Rasul-Nya. Dalam Al-Quran Allah mengingatkan Nabi Nuh tentang anaknya: ‘Wahai Nuh! Mereka bukanlah bagian keluargamu (Yaa Nuuh, innahuu laysa min Ahlik)‘. (QS. Hud[11]: 46)
3. Kebijakan-kebijakannya senantiasa berpijak kepada Sunah Rasul dan para sahabatnya, serta orang-orang yang saleh lagi sidiq (benar). Dan juga tidak mencampurkan yang haq dengan yang batil. Sesuai firman Allah:
“Dan janganlah engkau mencampurkan yang haq dengan yang batil, dan janganlah engkau menyembunyikan yang haq itu, sedangkan engkau mengetahuinya”. (QS. Al-Baqarah[2]: 42)
4. Landasan penentuan hukum berpijak pada aturan yang telah ditetapkan Allah & Rasul-Nya. Ketegasan dalam penyampaian hukum akan memperjelas posisi haram dan halal bagi umat.
Seorang Mursyid dapat menunjukkan di mana posisi hukum suatu permasalahan sesuai perkembangan masa berdasarkan ruh perintah dan larangan Allah SWT. Sebagai contoh keberadaan rokok, bunga bank, jual beli uang, jual beli air, dsb. yang pada masa dahulu belum ada.
Watak kebijakan seorang Mursyid harus bersifat menyeluruh dalam menentukan suatu hukum. Kerangka berfikir dan tindakannya selaras dengan Kehendak Allah, serta tidak berdiri pada (baca: mengutamakan) suatu pihak/golongan tertentu, meskipun ia ada di pihaknya.
5. Harus memiliki rasa keberpihakan terhadap sifat-sifat Ilahiyah, di antarnya: Arif dan bijaksana. Pengertian Arif di sini memiliki wawasan/pandangan yang luas dan jauh ke depan dalam memahami berbagai makna kehidupan, baik orang-orang terdahulu maupun yang kemudian. Tidak ubahnya mendekati sifat-sifat kenabian. Adapun sifat-sifat bijaksana itu selalu memahami kemajemukan (heterogen)nya tingkat keberadaan manusia. Di antaranya terhadap orang-orang yang berada dalam kekafiran dan kefasikan serta orang-orang yang berdosa. Ia harus betul-betul memahami sebab musabab mereka bersikap/berperilaku seperti yang demikian itu, sehingga tidak ada sikap kebencian yang muncul dalam hati Mursyid tersebut terhadap mereka.
6. Mencerminkan pribadi-pribadi yang bersikap pema’af dan bersabar menerima fitnah/ujian dari orang-orang yang memfitnah atau merendahkan dirinya. Hal demikian telah diajarkan oleh para Nabi/Rasul terdahulu, yang banyak mengalami tantangan dan ujian dalam melaksanakan tugas dakwahnya.
7. Dalam setiap memberikan bimbingan, pengajaran atau fatwa-fatwa perintah, senantiasa kebijakannya itu tidak pernah memaksakan kepada siapapun. Karena pada dasarnya setiap manusia dijadikan oleh Allah sebagai Khalifah atau dalam pengertian lain adalah sebagai pemimpin atas dirinya masing-masing. Di mana seorang pemimpin itu mempunyai hak kemerdekaan/kebebasan atau hak veto untuk menyatakan ‘ya’ atau ‘tidak’, ‘iman’ atau ‘kafir’, ‘tunduk’ atau ‘menentang/menolak’. Kesifatan-kesifatan ini begitu kental ditetapkan oleh Allah kepada manusia, yakni tidak ada paksaan dalam agama sehingga hal itu merupakan bagian hak-hak asasi setiap manusia. Maka sesuai dengan firman-Nya:
“Katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir“. (QS. Al-Kahfi[18]: 29)
Inilah kebijakan Ilahiyah yang tertuang di dalam Al-Quran yang dipedomani sebagai karakteristik sebagai sifat-sifat kenabian.
8. Tidak merasakan takut dalam menyampaikan yang hak kepada orang lain, meskipun pahit bagi dirinya dan yang mendengarkannya.ٍٍ Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW:
“Katakanlah yang benar walaupun pahit”.
“Dan janganlah engkau mencampuradukkan yang haq dan batil serta menyembunyikan yang haq itu, sedangkan engkau mengetahuinya”. (QS. Al-Baqarah[2]: 42)
Itulah ciri-ciri kemursyidan/kewalian yang disifatkan Allah dalam Al-Quran:
“Ketahuilah, sesungguhnya para Wali (kekasih) Allah itu tiada sedih dan berduka cita (terhadap selain Allah). (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka yang selalu bertaqwa. Mereka mendapatkan kabar baik di kehidupan dunia maupun di akhirat. Tiadalah ketetapan Allah itu berubah”. (QS. Yunus[10]: 62-63)
9. Terjaga dalam sikap kehati-hatian (wara’) tentang manfaat dan mudharatnya dunia, sebab firman-Nya mengatakan:
“Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan“. (QS. Ali Imran[3]: 185)
Dikatakan dunia itu menipu karena kebaikan dan keburukan dunia itu tidak tampak untuk membedakannya:
“Katakanlah, Tidak tampak perbezaan antara keburukan dan kebaikan”. (QS. Al-Maidah[3]: 100)
10. Menata kesinambungan keseimbangan (tawazun) dunia dan ukhrawi. Keduanya memiliki kepentingan masing-masing yang saling terkait. Menjalani keduanya sesuai dengan sistem yang berlaku. Maka jika terjadi ketidaksinambungan/ketidakseimbangan pada seorang murid dalam satu sisi kehidupan, maka akan diarahkan pada posisi yang lebih sesuai dengan kemampuannya.
11. Tidak bersikap komersil atau menentukan bayaran dalam menjalankan dakwahnya, yakni bersikap Zuhud. Firman Allah SWT:
“Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk“. (QS. Yaasin[36] :21)
12. Bersikap peduli menjaga hubungan baik kepada orang-orang yang berbeda agama/kepercayaan. Firman Allah SWT mengatakan:
“Tolaklah dengan cara yang lebih baik akan kejahatan itu, maka mendadaklah orang yang mempunyai permusuhan denganmu menjadi dekat denganmu bagai sahabat karib. Dan tidaklah dapat melakukannya kecuali orang yang sabar dan tidak dapat mencapainya kecuali orang yang mempunyai nasib yang baik (keuntungan yang besar)”. (QS. Fushshilat[41]: 34)
13. Bersifat Murobbi Ruh. Seorang Mursyid membimbing muridnya di manapun mereka berada, walaupun ia telah dipisahkan dengan alam yang berbeda. Karena Allah menyatakan:
“Dan janganlah engkau katakan bahwa hamba-hamba yang terbunuh di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup. Tetapi tidaklah engkau menyadarinya”. (QS. Al-Baqarah[2]: 153)
Dalam ayat lain dikatakan: “Bahkan mereka itu hidup, di sisi Tuhannya mereka diberi rizki”. (QS. Ali Imran[3]: 169)
Predikat Murobbi Ruh ini biasanya melahirkan bukti-bukti yang kuat, dan dialami oleh setiap muridnya, baik disadari maupun tidak.
14. Keberhasilan lahiriyyah bukanlah merupakan tujuan pokok, di antaranya banyak ataupun sedikit yang menjadi pengikutnya bahkan mungkin tidak dipercaya oleh umatnya/kaumnya, maka tidak gugur kemursyidannya, menang atau berjaya tidaknya dari kesewenangan pihak musuh/kafir dan yang fasik. Tak ubahnya dengan kenyataan dialami para Nabi terlebih dahulu, seperti Nabi Ayub, Nabi Yunus, Nabi Yahya, Nabi Isa, Nabi Ibrahim, dsb. Dan yang berhasil di antaranya adalah: Nabi Daud, Nabi Sulaiman, Nabi Muhammad. Demikianlah sepak terjang para Nabi dan para Rasul, dan begitu pula para Mursyid yang jika tidak diikuti oleh kaumnya, tidak gugur kemursyidannya, yang gugur adalah tugasnya dalam menyampaikan. Itulah tanda-tanda kenabian dan kemursyidan, yang memiliki ciri khas yang serupa, yang kedudukannya hanya sebagai pemberi kabar.
“Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah sekedar menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas“. (QS. Yasin[36]: 17)
Seorang Mursyid tidak lain hanyalah sebagai gembala-gembala dan pembimbing ke jalan yang lurus.
Sesungguhnya kedudukan seorang Mursyid yang dimaksud dalam Al-Quran & Al-Hadits di samping sebagai pemberi petunjuk adalah mempunyai posisi sebagai pembaharu (Mujaddid), yakni sebagai pemberi solusi terhadap berbagai persoalan umat di setiap masa.
Sabda Nabi SAW:
“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla akan membangkitkan seseorang bagi umat Islam ini pada setiap 100 tahun yang memperbaharui agama”. (HR. Abu Daud & Hakim, dari Abu Hurairah).
“Hendaklah engkau berpijak atas Sunnahku dan sunnah Khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk dan hidayah (setelahku), peganglah kuat-kuat atasnya dan gigitlah dengan gigi gerahammu (biar tidak lepas)“. (HR. Tarmidzi)
“Allah menganugerahkan Al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Quran dan As-Sunnah) kepada siapa-siapa yang Dia kehendaki”. (QS. Al-Baqarah[2]: 269)
Seorang Mujaddid diberikan hikmah (ilmu laduni) oleh Allah SWT melalui pengajaran-Nya (At-Ta’allumur Robbaniyyah).
Wallaahu A’lam.
(Dikutip dari Buku ‘DZIKIR QUR’ANI, mengingat Allah sesuai dengan fitrah manusia’)
Sikap ini mengikuti landasan firman Allah SWT:
‘Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui’. (QS. Saba[34]: 28)
Didefinisikan juga sebagai ilham. Ilham adalah kelanjutan dari wahyu. Sebab, wahyu menjelaskan perkara ghaib, sementara ilham memerincinya. Ilmu yang diperoleh dari wahyu disebut ilmu kenabian. Sedangkan ilmu yang diperoleh dari pengilhaman dinamakan ilmu laduni, yaitu ilmu yang di dalam memperolehnya, tidak ada perantara antara jiiwa dan Pencipta. Ia semata-mata seperti pancaran kalbu yang jernih, kosong dan lembut.