Ibnu ‘Araby
March 4, 2009Syaqiq Al Balkhy
March 4, 2009
Ia berkata, “Siapa itu berada di pintu?”
Aku berkata, “Hamba sahaya Paduka.”
Ia berkata, “Kenapa kau ke mari?”
Aku berkata, “Untuk menyampaikan hormat padamu, Gusti.”
Ia berkata, “Berapa lama kau bisa bertahan?”
Aku berkata, “Sampai ada panggilan.”
Aku pun menyatakan cinta, aku mengambil sumpah
Bahwa demi cinta aku telah kehilangan kekuasaan.
Ia berkata, “Hakim menuntut saksi kalau ada pernyataan.”
Aku berkata, “Air mata adalah saksiku, pucatnya wajahku adalah buktiku.”
Ia berkata, “Saksi tidak sah, matamu juling.”
Aku berkata, “Karena wibawa keadilanmu mataku terbebas dari dosa.”
Syair religius di atas adalah cuplikan dari salah satu puisi karya penyair sufi
terbesar dari Persia, Jalaluddin Rumi. Kebesaran Rumi terletak pada kedalaman
ilmu dan kemampuan mengungkapkan perasaannya ke dalam bahasa yang
indah. Karena kedalaman ilmunya itu, puisi-puisi Rumi juga dikenal mempunyai
kedalaman makna. Dua hal itulah -kedalaman makna dan keindahan bahasa-
yang menyebabkan puisi-puisi Rumi sulit tertandingi oleh penyair sufi sebelum
maupun sesudahnya.
Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi ia juga tokoh sufi yang
berpengaruh pada zamannya. Rumi adalah guru nomor satu tarekat Maulawiah
– sebuah tarekat yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah sekitarnya.
Tarekat Maulawiah pernah berpengaruh besar dalam lingkungan Istana TurkI
Utsmani dan kalangan seniman pada sekitar tahun l648.
Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewa-dewaan akal dan indera
dalam menentukan kebenaran. Pada zamannya, ummat Islam memang sedang
dilanda penyakit itu.
Bagi kelompok yang mengagul-agulkan akal, kebenaran baru dianggap benar
bila mampu digapai oleh indera dan akal. Segala sesuatu yang tidak dapat
diraba oleh indera dan akal, cepat-cepat mereka ingkari dan tidak diakui.
Padahal, menurut Rumi, justru pemikiran semacam itulah yang dapat
melemahkan iman kepada sesuatu yang ghaib. Dan karena pengaruh pemikiran
seperti itu pula, kepercayaan kepada segala hakekat yang tidak kasat mata,
yang diajarkan berbagai syariat dan beragam agama samawi, bisa menjadi
goyah.
Rumi mengatakan, “Orientasi kepada indera dalam menetapkan segala hakekat
keagamaan adalah gagasan yang dipelopori kelompok Mu’tazilah. Mereka
merupakan para budak yang tunduk patuh kepada panca indera. Mereka
menyangka dirinya termasuk Ahlussunnah. Padahal, sesungguhnya
Ahlussunnah sama sekali tidak terikat kepada indera-indera, dan tidak mau pula
memanjakannya.”
Bagi Rumi, tidak layak meniadakan sesuatu hanya karena tidak pernah
melihatnya dengan mata kepala atau belum pernah meraba dengan indera.
Sesungguhnya, batin akan selalu tersembunyi di balik yang lahir, seperti faedah penyembuhan yang terkandung dalam obat. “Padahal, yang lahir itu senantiasa
menunjukkan adanya sesuatu yang tersimpan, yang tersembunyi di balik dirinya.Bukankah Anda mengenal obat yang bermanfaat? Bukankah kegunaannya tersembunyi di dalamnya?” tegas Rumi.
PENGARUH TABRIZ
Fariduddin Attar, seorang tokoh sufi juga, ketika berjumpa dengan Rumi yang
baru berusia 5 tahun pernah meramalkan bahwa si kecil itu kelak bakal menjadi
tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian mencatat, ramalan Fariduddin itu tidak
meleset.
Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30 September 1207 Rumi
menyandang nama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-
Qunuwi. Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di
Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma).
Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah seorang ulama
besar bermadzhab Hanafi. Dan karena kharisma dan tingginya penguasaan ilmu
agamanya, ia digelari Sulthanul Ulama (raja ulama). Namun rupanya gelar itu
menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain. Dan merekapun melancarkan
fitnah dan mengadukan Bahauddin ke penguasa. Celakanya sang penguasa
terpengaruh hingga Bahauddin harus meninggalkan Balkh, termasuk
keluarganya. Ketika itu Rumi baru berusia lima tahun.
Sejak itu Bahauddin bersama keluarganya hidup berpindah- pindah dari suatu
negara ke negara lain. Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut). Dari
Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya (Turki), Laranda (Iran tenggara)
dan terakhir menetap di Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad,
mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya, dan juga mengangkatnya
sebagai pimpinan sebuah perguruan agama yang didirikan di ibukota tersebut. Di
kota ini pula ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun.
Di samping kepada ayahnya, Rumi juga berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq
at-Turmudzi, sahabat dan pengganti ayahnya memimpin perguruan. Rumi juga
menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu. Ia baru kembali ke Konya
pada 634 H, dan ikut mengajar pada perguruan tersebut.
Setelah Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya sebagai guru di Konya.
Dengan pengetahuan agamanya yang luas, di samping sebagai guru, ia juga
menjadi da’i dan ahli hukum Islam. Ketika itu di Konya banyak tokoh ulama
berkumpul. Tak heran jika Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat
berkumpul para ulama dari berbagai penjuru dunia.
Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika ia sudah berumur cukup tua, 48
tahun. Sebelumnya, Rumi adalah seorang ulama yang memimpin sebuah
madrasah yang punya murid banyak, 4.000 orang. Sebagaimana seorang ulama,
ia juga memberi fatwa dan tumpuan ummatnya untuk bertanya dan mengadu.
Kehidupannya itu berubah seratus delapan puluh derajat ketika ia berjumpa
dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin alias Syamsi Tabriz.
Suatu saat, seperti biasanya Rumi mengajar di hadapan khalayak dan banyak
yang menanyakan sesuatu kepadanya. Tiba- tiba seorang lelaki asing -yakni
Syamsi Tabriz- ikut bertanya, “Apa yang dimaksud dengan riyadhah dan ilmu?”
Mendengar pertanyaan seperti itu Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu
dan tepat pada sasarannya. Ia tidak mampu menjawab. Berikutnya, Rumi
berkenalan dengan Tabriz. Setelah bergaul beberapa saat, ia mulai kagum
kepada Tabriz yang ternyata seorang sufi. Ia berbincang-bincang dan berdebat
tentang berbagai hal dengan Tabriz. Mereka betah tinggal di dalam kamar hinggaberhari-hari.
Sultan Salad, putera Rumi, mengomentari perilaku ayahnya itu, “Sesungguhnya,
seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari sang guru
besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan
zuhud. Tetapi itulah kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu melihat
kandungan ilmu yang tiada taranya.”
Rumi benar-benar tunduk kepada guru barunya itu. Di matanya, Tabriz benar-benarsempurna. Cuma celakanya, Rumi kemudian lalai dengan tugas mengajarnya. Akibatnya banyak muridnya yang protes. Mereka menuduh orang
asing itulah biang keladinya. Karena takut terjadi fitnah dan takut atas
keselamatan dirinya, Tabriz lantas secara diam-diam meninggalkan Konya.
Bak remaja ditinggalkan kekasihnya, saking cintanya kepada gurunya itu,
kepergian Tabriz itu menjadikan Rumi dirundung duka. Rumi benar-benar
berduka. Ia hanya mengurung diri di dalam rumah dan juga tidak bersedia
mengajar. Tabriz yang mendengar kabar ini, lantas berkirim surat dan menegur
Rumi. Karena merasakan menemukan gurunya kembali, gairah Rumi bangkit
kembali. Dan ia mulai mengajar lagi.
Beberapa saat kemudian ia mengutus putranya, Sultan Salad, untuk mencari
Tabriz di Damaskus. Lewat putranya tadi, Rumi ingin menyampaikan penyesalan
dan permintaan maaf atas tindakan murid-muridnya itu dan menjamin
keselamatan gurunya bila berkenan kembali ke Konya.
Demi mengabulkan permintaan Rumi itu, Tabriz kembali ke Konya. Dan mulailah
Rumi berasyik-asyik kembali dengan Tabriz. Lambat-laun rupanya para muridnya merasakan diabaikan kembali, dan mereka mulai menampakkan perasaan tidak senang kepada Tabriz. Lagi-lagi sufi pengelana itu, secara diam-diam meninggalkan Rumi, lantaran takut terjadi fitnah. Kendati Rumi ikut mencari
hingga ke Damaskus, Tabriz tidak kembali lagi.
Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya dengan Tabriz. Kesedihannya
berpisah dan kerinduannya untuk berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut
berperan mengembangkan emosinya, sehingga ia menjadi penyair yang sulit
ditandingi. Guna mengenang dan menyanjung gurunya itu, ia tulis syair- syair,
yang himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan-i Syams-i Tabriz. Ia
bukukan pula wejangan-wejangan gurunya, dan buku itu dikenal dengan nama
Maqalat-i Syams Tabriz.
Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi baru, Syekh
Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Atas dorongan sahabatnya itu, ia berhasil
selama 15 tahun terakhir masa hidupnya menghasilkan himpunan syair yang
besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi-i. Buku ini terdiri dari enam
jilid dan berisi 20.700 bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk apologi, fabel,
legenda, anekdot, dan lain-lain. Karya tulisnya yang lain adalah Ruba’iyyat (sajak
empat baris dalam jumlah 1600 bait), Fiihi Maa fiihi (dalam bentuk prosa;
merupakan himpunan ceramahnya tentang tasawuf), dan Maktubat (himpunan
surat-suratnya kepada sahabat atau pengikutnya).
Bersama Syekh Hisamuddin pula, Rumi mengembangkan tarekat Maulawiyah
atau Jalaliyah. Tarekat ini di Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes
(Para Darwisy yang Berputar-putar). Nama itu muncul kerana para penganut
tarekat ini melakukan tarian berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan
suling, dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.
WAFAT
Semua manusia tentu akan kembali kepada-Nya. Demikianlah yang terjadi pada
Rumi. Penduduk Konya tiba-tiba dilanda kecemasan, gara-gara mendengar
kabar bahwa tokoh panutan mereka, Rumi, sakit keras. Meski menderita sakit
keras, pikiran Rumi masih menampakkan kejernihannya.
Seorang sahabatnya datang menjenguk dan mendo’akan, “Semoga Allah
berkenan memberi ketenangan kepadamu dengan kesembuhan.” Rumi sempat
menyahut, “Jika engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan
bermakna baik. Tapi kematian ada juga kafir dan pahit.
Pada 5 Jumadil Akhir 672 H dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke rahmatullah.
Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesak-desak ingin menyaksikan. Begitulah kepergian seseorang yang dihormati ummatnya.